Skip to main content

Relokasi

Hal menarik :
Yang paling menarik dari presentasi ini adalah proses bagaimana terjadi relokasi seperti skema diatas. Relokasi terjadi karena kondisi fisik alam yang ada, misal kawasan permukiman penduduk ini tidak layak dihuni, ataupun karena penggunaan lahan untuk kegiatan lain, misal relokasi kampung yang akan ditenggelamkan dan dijadikan dam. Dengan penyebab seperti itu, kita harus bijak dalam menentukan apakah relokasi tersebut sudah benar atau salah. Kita dapat mengetahui relokasi tersebut benar atau salah dengan melihat apa yang akan terjadi di masa yang akan datang apabila relokasi tersebut dilakukan dan tidak dilakukan (prediksi masa yang akan datang).

Study Learned :
PKL UGM
Hingga tahun 2009, PKL UGM yang beraktivitas setiap hari Minggu (SunMor) berlokasi di dalam kawasan Grha Sabha Pramana (GSP), lebih tepatnya lagi di daerah depan gedung GSP. Namun hal ini menimbulkan kerisihan sendiri bagi pihak UGM. Dikarenakan UGM ingin membersihkan dirinya dari para PKL dan ingin menjadikan UGM dengan standar internasiional, maka direlokasikanlah para PKL tersebut disepanjang jalan dari Masjid Kampus hingga Fakultas Peternakan UGM.
Relokasi ini menimbulkan banyak pro-kontra, namun tetap dilakukan. Dan pada akhirnya yang terjadi hingga saat ini (2011), adanya SunMor ini sangat mengganggu pengguna jalan tersebut, baik angkutan umum ataupun angkutan pribadi, karena menyebabkan kemacetan.
Akankah ada relokasi PKL SunMor UGM untuk kedua kalinya?
Ini adalah contoh relokasi yang kurang baik karena tidak memikirkan jangka panjangnya dan memberi dampak bagi umum. Sebaiknya UGM menyediakan tempat yang tepat, nyaman, dan tentu saja masih menguntungkan bagi para PKL tersebut.

Aspek Partisipasi :
Partisipatory Planning merupakan pendekatan yang paling tepat dalam relokasi.
Karena masyarakat (publik) menjadi bagian dari pelaku perencanaan. Masyarakat berperan serta dalam proses perencanaan yang akan diimplementasikan, yang dapat berupa :
          Partisipasi publik dalam hal mempertimbangkan    rencana yang diusulkan dan mengeluarkan pendapatnya.
          Partisipasi publik dalam mendukung dan mendorong pelaksanaan proses perencanaan.

Penerapan aspek lingkungan pada kasus relokasi :
Dalam memilih lokasi relokasi haruslah mempertimbangkan aspek lingkungan pada lokasi tersebut. Apakah lokasi tersebut sudah tepat untuk penggunaan lahan tersebut nantinya? Apakah tidak akan terjadi relokasi lagi untuk kedua kalinya?
Dalam menentukan lokasi yang baik untuk sebuah relokasi, planner harus memperhatikan aspek lingkungan, baik lingkungan dalam maupun lingkungan luar. Lingkungan dalam, seperti kecocokan lahan tersebut dengan peruntukan lahannya dengan mempertimbangkan jenis tanah, kelerengan, curah hujan, peruntukan lahan, kerawanan bencana, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan luar adalah lingkungan disekitar lokasi tersebut, akankah tercipta interaksi yang baik nantinya, dilihat dari segi penggunaan lahan, ekonomi, sosial.

Comments

Popular posts from this blog

Permasalahan Lahan (studi kasus: Tanah Merah)

Tanah Merah yang merupakan tanah sengketa (tidak jelas kepemilikannya) adalah akar dari segala permasalahan yang muncul mengenai permasalahan pembangunan di lahan tersebut. Beberapa permasalahan yang tercipta dari ketidakjelasan kepemilikan tanah tersebut adalah: 1.        Akses tanah yang semakin sulit untuk orang miskin a.        Land Market   Harga tanah yang semakin tinggi, akan tetapi semakin banyak warga yang tidak mampu membeli tanah dengan harga tinggi menyebabkan banyak warga yang memilih untuk tinggal menempati tanah orang laiin. Penyebab tingginya harga tanah adalah ketersediaan utilitas yang memadai, kelangkaan tanah, dan tingginya keinginan-kebutuhan warga akan tanah. Hal tersebut dialami oleh warga Tanah Merah.   Sebagian besar warga tanah merah merupakan warga kelas menengah kebawah, yang memiliki affordabilitas akan tanah yang rendah, sehingga mereka lebih memilih untuk menempati l...

Livable Streets

Konsep Daya Hidup Jalan ( Livable Street ) a. Sejarah Istilah dan konsep daya hidup jalan (livable streets) pertama kali diperkenalkan oleh Donald Appleyard pada tahun 1981 yang dituang dalam bukunya Livable Street. Pada bukunya ini, Appleyard lebih menekankan pada jalan di area permukiman yang membutuhkan penerapan traffic calm untuk mengurangi tingkat arus lalu lintas di jalan yang terus meningkat dan membuat jalan tersebut tidak nyaman dan aman bagi manusia. Kemudian, pada tahun 1995, Allan B. Jacobs menulis sebuah buku yang berjudul Great Streets yang dalam isinya seolah-olah mendukung konsep Appleyard, namun ditinjau dari segi kehumanisan jalan sebagai ruang publik. Kemudian disusul dengan bermunculannya para peneliti, penulis, perencana lain yang mendukung dan menerapkan konsep ini pada negara-negara yang siap dan membutuhkan diterapkannya konsep ini. b. Deskripsi konsep Daya hidup sebuah jalan ( livable streets ) merupakan sebuah jalan yang dirancang untuk m...

Nasib Pengusaha Angkutan Umum Eksisting Ketika Sebuah Kota Memiliki Angkutan Massal Berbasis Jalan

Perhatian terhadap angkutan umum eksisting biasanya semakin berkurang ketika pemerintah sibuk membangun sebuah sistem transportasi masal baru. Salah satunya adalah pengembangan Bus Rapid Transit (BRT), yaitu sistem angkutan massal berbasis bus yang pelayanan dan infrastrukturnya dirancang untuk menyingkirkan persoalan seperti penundaan kedatangan dan keberangkatan yang sering ditemui pada sistem bus biasa. Contoh pengembangan BRT di kota-kota di Indonesia adalah Trans Jakarta dan Trans Semarang. Adanya BRT seringkali menjadi pesaing bagi bus dan angkutan kota (angkot) yang sudah beroperasi sebelumnya, terutama dalam mendapatkan penumpang. Situasi ini pun beresiko memburuk tatkala pemerintah terus-menerus memfasilitasi peningkatan usaha BRT, seperti penambahan moda dan rute, penyediaan jalur eksklusif, serta melakukan perawatan rutin; di tengah kualitas angkutan umum konvensional yang cenderung menurun. Beruntung, bila ada upaya mencari jalan tengah ...