Tanah Merah yang merupakan tanah sengketa (tidak jelas kepemilikannya)
adalah akar dari segala permasalahan yang muncul mengenai permasalahan
pembangunan di lahan tersebut. Beberapa permasalahan yang tercipta dari
ketidakjelasan kepemilikan tanah tersebut adalah:
1. Akses tanah yang semakin
sulit untuk orang miskin
a.
Land Market
Harga tanah yang semakin
tinggi, akan tetapi semakin banyak warga yang tidak mampu membeli tanah dengan
harga tinggi menyebabkan banyak warga yang memilih untuk tinggal menempati
tanah orang laiin. Penyebab tingginya harga tanah adalah ketersediaan utilitas
yang memadai, kelangkaan tanah, dan tingginya keinginan-kebutuhan warga akan
tanah. Hal tersebut dialami oleh warga Tanah Merah. Sebagian besar warga tanah merah merupakan
warga kelas menengah kebawah, yang memiliki affordabilitas akan tanah yang
rendah, sehingga mereka lebih memilih untuk menempati lahan orang lain, yang
notabene-nya termasuk lahan sengketa karena ketidakjelasan tanah apakah tanah
milik badan pengurus peninggalan Belanda, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, atau
PT. Pertamina. Semakin tingginya harga tanah dan semakin tinggi kebutuhan akan
tanah/lahan, dengan affordabilitas masyarakat akan tanah yang rendah, akan
sangat mempersulit akses tanah untuk masyarakat kelas menengah ke bawah.
a.
Informal Development Land
Pembangunan informal
(ditanah yang bukan kepunyaannya) yang dilakukan oleh pihak yang ingin mencari
keuntungan untuk pihaknya sendiri juga terjadi di Tanah Merah. Tahun 1970, PT.
Pertamina, menempati lahan Tanah Merah dan membangun Depo Pertamina di tanah
yang bukan miliknya. Hingga kini, Depo tersebut semakin mengalami perluasan
dengan kepemilikan tanah yang masih sengketa. Pihak PT. Pertamina sendiri tidak
memiliki surat kepemilikan tanah. Perluasan secara berkala Depo Pertamina ini
sangat merugikan warga di Tanah Merah karena lahan permukiman mereka terambil,
padahal warga tanah merah, yang sama-sama tidak memiliki akte kepemilikan
tanah, telah lebih dulu menempati lahan di Tanah Merah tersebut, yaitu dari
tahun 1965. Hal ini tentu saja membuat semakin sulit akses tanah bagi warga
Tanah Merah itu sendiri.
Depo PT. Pertamina, Plumpang, Jakarta
Utara (area Tanah Merah)
www.media.vivanews.com
1. Kesulitan mendapat tanah
untuk kepentingan umum
Tanah Merah yang
sebenarnya merupakan wewenang Badan Pengurus Peninggalan Milik Belanda dan
pemerintah provinsi DKI Jakarta, pada kenyataannya telah disabotase oleh warga
untuk menjadi area permukiman ilegal mereka dan disabotase juga oleh pihak PT.
Pertamina yang membangun Depo Tanah Merah tersebut. Padahal, Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dapat bekerjasama dengan Badan Pengurus Peninggalan Milik
Belanda untuk menjadikan Tanah Merah sebagai lahan untuk pembangunan
kepentingan umum, misal untuk pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial,
hingga taman kota, alun-alun, dan lain-lain, melihat pada kenyataannya DKI
Jakarta sangat membutuhkan ruang terbuka dan ruang publik untuk memenuhi
kebutuhan warga dan kehumanisan kota.
2. Spekulasi tanah yang tidak
terkontrol
Di tanah merah, dikarenakan kepemilikan tanah
higga kini tidak ada kejelasan, maka spekulasi tanah di Tanah Merah pun kian
marak. Banyak pihak yang mengaku tanah tersebut merupakan tanah miliknya, namun
tidak dapat menunjukkan surat kepemilikan tanah tersebut. Hal ini menyebabkan
pembangunan yang tidak merata di Tanah Merah, ada lahan yang dibangun untuk
permukiman, namun ada juga lahan yang dibiarkan dan dijadikan arena kumuh.
Kawasan permukiman kumuh,
Tanah Merah.
(arsip pribadi, 2012)
Penulis:
Ria Sitompul
Ko bisa y ada tana tapi tidak ada pemilik nya!!!!!heran saya!!
ReplyDeletebener2 nih negri Ajaiiib !!
ReplyDelete