Skip to main content

Livable Streets




Konsep Daya Hidup Jalan (Livable Street)

a. Sejarah
Istilah dan konsep daya hidup jalan (livable streets) pertama kali diperkenalkan oleh Donald Appleyard pada tahun 1981 yang dituang dalam bukunya Livable Street. Pada bukunya ini, Appleyard lebih menekankan pada jalan di area permukiman yang membutuhkan penerapan traffic calm untuk mengurangi tingkat arus lalu lintas di jalan yang terus meningkat dan membuat jalan tersebut tidak nyaman dan aman bagi manusia. Kemudian, pada tahun 1995, Allan B. Jacobs menulis sebuah buku yang berjudul Great Streets yang dalam isinya seolah-olah mendukung konsep Appleyard, namun ditinjau dari segi kehumanisan jalan sebagai ruang publik. Kemudian disusul dengan bermunculannya para peneliti, penulis, perencana lain yang mendukung dan menerapkan konsep ini pada negara-negara yang siap dan membutuhkan diterapkannya konsep ini.

b. Deskripsi konsep
Daya hidup sebuah jalan (livable streets) merupakan sebuah jalan yang dirancang untuk memungkinkan perjalanan yang aman dan nyaman oleh semua pengguna, termasuk kendaraan bermotor, pejalan kaki (termasuk para penyandang cacat), kendaraan angkutan, dan pengendara sepeda. Hal ini didukung oleh pernyataan Complete Streets Steering Committee Organizations (2012;1) yang menyatakan bahwa:

“The streets of our cities and towns are an important part of the livability of our communities. They ought to be for everyone, whether young or old, motorist or bicyclist, walker or wheelchair user, bus rider or shopkeeper. But too many streets are designed only for speeding cars, or worse, creeping traffic jams. They are unsafe for people on foot or bike – and unpleasant for everybody.”

Daya hidup sebuah jalan (livable street) dinilai dari kemampuan sebuah jalan untuk menciptakan tempat yang nyaman bagi para setiap penggunanya. Sebuah jalan dapat dikatakan memiliki rasa kenyamanan bagi para penggunanya apabila:
  1. Lebar, memiliki trotoar (jalur pedestrian) yang lebar dan mencukupi pejalannya dan memiliki jalur sepeda. Hal ini untuk mendorong gaya hidup sehat dan aktif di kalangan masyarkat.
  2. Dapat memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mencapai tujuan terdekat dengan lingkungan yang aman dan mendukung.
  3. Berbagai pilihan transportasi memungkinkan semua orang - terutama para penyandang cacat dan orang dewasa yang lebih tua - untuk dapat memilih dan menggunakannya dengan mudah.
  4. Memiliki integrasi yang baik antara penggunaan lahan dan transportasi melalui penciptaan kombinasi yang menarik dari bangunan - rumah, kantor, toko, dan desain jalan.
  5. Merancang sebuah jalan dengan pola pikir pejalan kaki yang memerhitungkan titik perhentian bus, lalu lintas yang “aman”, dan ketersediaan fasilitas bagi penyandang cacat.
  6. Memiliki pengijauan jalur jalan.
  7. Memiliki daya hidup sebuah jalan (Livable Street) sebagai Ruang Publik
Sebuah jalan dapat dikatakan layak bagi penggunanya (livable street) sebagai ruang publik apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
  • Memiliki “kehidupan”, yaitu keanekaragaman aktivitas publik.
  • Memiliki banyak sirkulasi pergerakan didalamnya, yaitu dalam penggunaan jalur pedestrian.
  • Terdapat interaksi sosial antar sesama.
  • Mendorong terciptanya aktivitas ramah lingkungan, seperti banyaknya pengguna yang berjalan kaki, menggunakan sepeda, ataupun terdapatnya jalur hijau, dalam rangka mengurangi tingginya arus lalu-lintas kendaraan bermotor dan polusi udara.
  • Memiliki unsur keamanan bagi para penggunanya.
  • Memiliki jalur pedestrian, jalur sepeda, titik transit kendaraan umum, dan jalur kendaraan bermotor yang sesuai pada komposisi seharusnya.
Konsep daya hidup jalan (livable streets) terbagi atas beberapa kategori, yaitu:
  1. Daya hidup jalan untuk fungsi kehidupan/pergerakan (livable streets to live)
  2. Daya hidup jalan untuk fungsi peningkatan kesehatan (livable streets-health benefit)
  3. Daya hidup jalan untuk fungsi keramahan terhadap lingkungan permukiman (livable streets-protected neighborhoods)
  4. Daya hidup jalan untuk fungsi komunitas (livable streets for strong communities)


References:
  • Appleyard, Donald. (1981). Livable Streets (Chapters 1, 2, & 8), California: University of California Press.
  • Appleyard, Donald. (1980). Livable Streets: Protected Neighborhoods?,  Jurnal dari The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science  451: vol.106.
  • Jacobs, Allan C. (1999). Great Streets, United States of America: MIT Press.
  • Organizations, Complete Streets Steering Committee. Create Livable Communities, diakses pada Selasa, 30 Oktober 2012, pada http://www.smartgrowthamerica.org/documents/cs/factsheets/cs-livable.pdf

Writer:
Ria Roida Minarta


Comments

Popular posts from this blog

Permasalahan Lahan (studi kasus: Tanah Merah)

Tanah Merah yang merupakan tanah sengketa (tidak jelas kepemilikannya) adalah akar dari segala permasalahan yang muncul mengenai permasalahan pembangunan di lahan tersebut. Beberapa permasalahan yang tercipta dari ketidakjelasan kepemilikan tanah tersebut adalah: 1.        Akses tanah yang semakin sulit untuk orang miskin a.        Land Market   Harga tanah yang semakin tinggi, akan tetapi semakin banyak warga yang tidak mampu membeli tanah dengan harga tinggi menyebabkan banyak warga yang memilih untuk tinggal menempati tanah orang laiin. Penyebab tingginya harga tanah adalah ketersediaan utilitas yang memadai, kelangkaan tanah, dan tingginya keinginan-kebutuhan warga akan tanah. Hal tersebut dialami oleh warga Tanah Merah.   Sebagian besar warga tanah merah merupakan warga kelas menengah kebawah, yang memiliki affordabilitas akan tanah yang rendah, sehingga mereka lebih memilih untuk menempati l...

Nasib Pengusaha Angkutan Umum Eksisting Ketika Sebuah Kota Memiliki Angkutan Massal Berbasis Jalan

Perhatian terhadap angkutan umum eksisting biasanya semakin berkurang ketika pemerintah sibuk membangun sebuah sistem transportasi masal baru. Salah satunya adalah pengembangan Bus Rapid Transit (BRT), yaitu sistem angkutan massal berbasis bus yang pelayanan dan infrastrukturnya dirancang untuk menyingkirkan persoalan seperti penundaan kedatangan dan keberangkatan yang sering ditemui pada sistem bus biasa. Contoh pengembangan BRT di kota-kota di Indonesia adalah Trans Jakarta dan Trans Semarang. Adanya BRT seringkali menjadi pesaing bagi bus dan angkutan kota (angkot) yang sudah beroperasi sebelumnya, terutama dalam mendapatkan penumpang. Situasi ini pun beresiko memburuk tatkala pemerintah terus-menerus memfasilitasi peningkatan usaha BRT, seperti penambahan moda dan rute, penyediaan jalur eksklusif, serta melakukan perawatan rutin; di tengah kualitas angkutan umum konvensional yang cenderung menurun. Beruntung, bila ada upaya mencari jalan tengah ...