Skip to main content

Nasib Pengusaha Angkutan Umum Eksisting Ketika Sebuah Kota Memiliki Angkutan Massal Berbasis Jalan

Perhatian terhadap angkutan umum eksisting biasanya semakin berkurang ketika pemerintah sibuk membangun sebuah sistem transportasi masal baru. Salah satunya adalah pengembangan Bus Rapid Transit (BRT), yaitu sistem angkutan massal berbasis bus yang pelayanan dan infrastrukturnya dirancang untuk menyingkirkan persoalan seperti penundaan kedatangan dan keberangkatan yang sering ditemui pada sistem bus biasa.

Contoh pengembangan BRT di kota-kota di Indonesia adalah Trans Jakarta dan Trans Semarang. Adanya BRT seringkali menjadi pesaing bagi bus dan angkutan kota (angkot) yang sudah beroperasi sebelumnya, terutama dalam mendapatkan penumpang.

Situasi ini pun beresiko memburuk tatkala pemerintah terus-menerus memfasilitasi peningkatan usaha BRT, seperti penambahan moda dan rute, penyediaan jalur eksklusif, serta melakukan perawatan rutin; di tengah kualitas angkutan umum konvensional yang cenderung menurun. Beruntung, bila ada upaya mencari jalan tengah seperti penerapan sistem OK-Otrip/Jaklingko di Jakarta atau skema scraping 3-4 angkot menjadi 1 bus di Semarang.

Persaingan yang kurang sehat antar pengusaha angkutan umum sudah semestinya dihindari agar strategi mengatasi kemacetan kota dapat berjalan optimal. Ia sesungguhnya dapat diantisipasi sejak perencanaan dimulai.


Reformasi angkutan umum di Kota Medan

Angkot dan betor mendominasi wajah jalanan Kota Medan
ITDP Indonesia, tempat saya bekerja, menjadi salah satu lembaga yang turut membantu pemerintah menginisiasi reformasi angkutan umum pada kota-kota yang berencana mengembangkan BRT. Salah satu lokasinya adalah Kota Medan.

Selama beberapa dekade terakhir, sebagian besar penduduk Kota Medan melakukan mobilisasi dengan menggunakan angkot yang dioperasikan sekitar 11 operator, baik swasta maupun koperasi. Meskipun banyak rute yang masih aktif (± 109 rute angkot), warga merasa kurang aman dan nyaman menggunakannya.

Akibatnya, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah penumpang angkot semakin menurun. Situasi ini menyebabkan mereka beralih ke kendaraan pribadi dan mengakibatkan kemacetan lalu lintas.

Pada tahun 2016 silam, ITDP Indonesia memperkenalkan BRT kepada pemerintah kota setempat, dengan menyertakan reformasi angkutan umum sebagai bagian dari perencanaannya.

Melalui reformasi tersebut, angkutan umum eksisting diharapkan dapat menjadi operator BRT dan tetap dapat beroperasi pada rute yang digunakan saat ini. Untuk itu, peningkatan dalam hal organisasi, kinerja, dan armada pun dilakukan.

Mendapat antusiasme yang tinggi dari Pemerintah Kota Medan, ITDP pun merumuskan strategi untuk dapat menyampaikan itikad baik ini kepada pengusaha angkutan umum. Saya dan seorang staf lain, Ferdinand, yang sama-sama keturunan batak, didapuk untuk pekerjaan ini.

Bagi ITDP, ini diharapkan dapat membuka interaksi yang baik dengan pemangku kepentingan. Tidak dipungkiri, Indonesia memang masih kental dengan adat dari masing-masing daerah. Latar belakang kampung halaman dan suku dapat dijadikan sebuah strategi dalam membuka dan menjalin komunikasi.

Kami mengawali pekerjaan ini dengan mencari berbagai informasi di lapangan. Ini mulai dari menyamar sebagai penumpang dan bertanya-tanya kepada sopir terkait penghasilan, pengeluaran untuk bensin dan perawatan angkot, hingga harga beli dan jual armada.


Negosiasi Keuntungan Bersama

Diskusi informal dan formal hingga studi banding dilakukan untuk meningkatkan kapasitas baik pemerintah kota dan pengusaha/operator angkutan umum eksisting

Saat pertemuan pertama digelar, kami tidak hanya berkenalan dengan organda dan beberapa operator angkot di sana. Saat itu, kami juga mulai memberitahu bahwa pemerintah Kota Medan memiliki rencana untuk membangun sistem BRT.

Respon mereka tentu menolak. Mereka takut usaha yang telah dijalankan selama puluhan tahun itu akan mati karena bersaing dengan BRT. Kami berupaya meluruskannya dengan mengatakan bahwa kehadiran BRT justru akan menggandeng keberadaan mereka.

Kami menjelaskan keuntungan jika operator angkot menjadi operator BRT. Pertama, kepastian pendapatan. Ia akan dibayarkan dari pengelola sistem BRT ke operator berdasar Rupiah per kilometer sesuai hasil negosiasi kedua belah pihak. Ini artinya, pendapatan operator tidak lagi berdasar jumlah setoran dan jumlah penumpang.

Keuntungan lainnya, para operator tetap dapat mempertahankan usahanya dalam menyediakan jasa angkutan umum untuk mendapat profit tambahan. Namun, dalam kerjasama ini kami menekankan kewajiban para operator eksisting untuk memenuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan oleh badan pengelola sistem BRT.

Di akhir pertemuan, organda dan para operator merasa lega karena adanya mediator yang dapat menjembatani kepentingan dua belah pihak. Mereka menceritakkan pengalaman buruk terkait pengembangan Trans Mebidang yang sama sekali tidak melibatkan mereka. Trans Mebidang pun dilepas oleh pemerintah Kota Medan untuk dikelola oleh Damri sebagai bus umum antar kota. 


Selalu Dilibatkan

Pengusaha angkutan umum Kota Medan mendapat kesempatan untuk sharing knowledge terkait transisi industri bus di Kota Johannesburg oleh Rehana Moossaje
Usai pertemuan pertama membuahkan hasil, hingga kini ITDP terus membantu pemerintah Kota Medan dan operator-operator angkutan umum agar memiliki kapasitas yang sama dengan BRT yang akan diimplementasikan.

ITDP tak jarang melibatkan pemerintah Kota Medan dalam berbagai acara terkait pengembangan BRT. Begitupun para pengusaha angkutan umum dan perwakilan sopir angkot Medan.

Mereka senantiasa diundang ke beberapa workshop atau berdiskusi informal dari satu kedai kopi ke kedai kopi lainnya. Mereka pernah dilibatkan dalam sebuah workshop yang menghadirkan Rehana Moossaje, tokoh sentral sistem BRT di Afrika.

Selain itu, para operator dan perwakilan sopir angkot juga pernah diajak kunjungan (site visit) ke Jakarta, untuk melihat langsung bagaimana TransJakarta dapat bekerjasama dengan operator angkutan umum eksisting.

Di sana mereka bertukar pengalaman dengan operator bus dan angkot eksisting yang telah bekerjasama dengan TransJakarta, hingga menanyakan langsung pengalaman sopir angkot ketika bergabung menjadi angkot Ok Otrip/Jaklingko TransJakarta.

Keseluruhan tahapan ini dilakukan agar perencanaan angkutan umum di Kota Medan menggunakan lebih partisipatif. Dengan pendekatan dari bawah-ke atas (bottom up), ide dan inovasi yang berasal dari masyarakat dan pengusaha angkutan umum eksisting dapat diselaraskan dengan rencana pemerintah.

Kita perlu menyadari, aspirasi pengusaha angkutan umum yang memiliki lebih banyak pengalaman di lapangan sebenarnya akan sangat membantu badan pengelola BRT untuk menciptakan layanan yang andal dan efisien bagi penggunanya.

Selain itu, dengan melibatkan angkutan umum eksisting, pemerintah dapat meminimalisir gejolak negatif dari mulai penolakkan terhadap sistem transportasi baru hingga angka pengangguran akibat angkutan umum eksisting yang semakin ditinggalkan penggunanya.





Written by: Ria Roida Minarta 

Comments

Popular posts from this blog

Permasalahan Lahan (studi kasus: Tanah Merah)

Tanah Merah yang merupakan tanah sengketa (tidak jelas kepemilikannya) adalah akar dari segala permasalahan yang muncul mengenai permasalahan pembangunan di lahan tersebut. Beberapa permasalahan yang tercipta dari ketidakjelasan kepemilikan tanah tersebut adalah: 1.        Akses tanah yang semakin sulit untuk orang miskin a.        Land Market   Harga tanah yang semakin tinggi, akan tetapi semakin banyak warga yang tidak mampu membeli tanah dengan harga tinggi menyebabkan banyak warga yang memilih untuk tinggal menempati tanah orang laiin. Penyebab tingginya harga tanah adalah ketersediaan utilitas yang memadai, kelangkaan tanah, dan tingginya keinginan-kebutuhan warga akan tanah. Hal tersebut dialami oleh warga Tanah Merah.   Sebagian besar warga tanah merah merupakan warga kelas menengah kebawah, yang memiliki affordabilitas akan tanah yang rendah, sehingga mereka lebih memilih untuk menempati l...

Livable Streets

Konsep Daya Hidup Jalan ( Livable Street ) a. Sejarah Istilah dan konsep daya hidup jalan (livable streets) pertama kali diperkenalkan oleh Donald Appleyard pada tahun 1981 yang dituang dalam bukunya Livable Street. Pada bukunya ini, Appleyard lebih menekankan pada jalan di area permukiman yang membutuhkan penerapan traffic calm untuk mengurangi tingkat arus lalu lintas di jalan yang terus meningkat dan membuat jalan tersebut tidak nyaman dan aman bagi manusia. Kemudian, pada tahun 1995, Allan B. Jacobs menulis sebuah buku yang berjudul Great Streets yang dalam isinya seolah-olah mendukung konsep Appleyard, namun ditinjau dari segi kehumanisan jalan sebagai ruang publik. Kemudian disusul dengan bermunculannya para peneliti, penulis, perencana lain yang mendukung dan menerapkan konsep ini pada negara-negara yang siap dan membutuhkan diterapkannya konsep ini. b. Deskripsi konsep Daya hidup sebuah jalan ( livable streets ) merupakan sebuah jalan yang dirancang untuk m...